A. Situasi NKRI terbagi dalam periode–periode:
Tahun 1945 sejak NKRI diproklamasikan sampai 1965
disebut periode lama atau Orde Lama. Ancaman yang dihadapi datangnya dari dalam
maupun dari luar, langsung maupun tidak langsung, menumbuhkan pemikiran
mengenai cara menghadapinya. Pada tahun 1954, terbitlah produk Undang–Undang
tentang Pokok–Pokok Perlawanan Rakyat (PPPR) dengan Nomor 29 Tahun 1954.
Sehingga terbentuklah organisasi–organisasi perlawanan rakyat pada tingkat desa
(OKD) dan sekolah-sekolah (OKS).
Tahun 1965
sampai 1998 disebut periode baru atau Orde Baru. Ancaman yang dihadapi dalam
periode ini adalah tantangan non fisik. Pada tahun 1973 keluarlah Ketetapan MPR
dengan Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN, dimana terdapat penjelasan tentang
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Lalu pada tahun 1982 keluarlah UU No.
20 Tahun 1982 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia, dengan adanya penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara dari Taman Kanak–Kanak hingga Perguruan Tinggi.
Tahun 1998
sampai sekarang disebut periode Reformasi, untuk menghadapi perkembangan jaman
globalisasi maka diperlukan undang–undang yang sesuai maka keluarlah
Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
mengatur kurikulum Pendidikan kewarganegaraan, yang kemudian pasal ini
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah
hubungan negara dengan warga negara, antara warga negara serta Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus
terus ditingkatkan guna menjawab tantangan masa depan, sehingga keluaran
peserta didik memiliki semangat juang yang tinggi dan kesadaran bela negara
sesuai bidang profesi masing-masing demi tetap tegak dan utuhnya NKRI.
Perguruan Tinggi perlu mendapatkan Pendidikan
Kewarganegaraan karena Perguruan Tinggi sebagai institusi ilmiah bertugas
secara terus menerus mengembangkan ilmu pengetahuan dan Perguruan Tinggi
sebagai instrumen nasional bertugas sebagai pencetak kader-kader pemimpin
bangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi diberikan pemahaman filosofi secara ilmiah meliputi pokok-pokok bahasan,
yaitu : Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional.
B. Era reformasi membawa banyak perubahan di hampir segala
bidang di Republik Indonesia.
Ada perubahan yang positif dan bermanfaat bagi
masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang negatif dan pada gilirannya akan
merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru menyebabkan arus
informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung. Berbagai ideologi,
mulai dari ekstrim kiri sampai ke ekstrim kanan, menarik perhatian bangsa kita,
khususnya generasi muda, untuk dipelajari, dipahami dan diterapkan dalam upaya
mencari jati diri bangsa setelah selama lebih dari 30 tahun merasa terbelenggu
oleh sistem pemerintahan yang otoriter.
Salah satu
dampak buruk dari reformasi adalah memudarnya semangat nasionalisme dan
kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan
dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar dalam suatu sistem
politik yang demokratis. Namun berbagai tindakan anarkis, konflik SARA dan
separatisme yang sering terjadi dengan mengatas namakan demokrasi menimbulkan
kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa.
Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama.
Semangat untuk membela negara seolah telah memudar.
Bela Negara biasanya selalu dikaitkan dengan
militer atau militerisme, seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk
membela negara hanya terletak pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal
berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap
warga negara Republik Indonesia. Bela negara adalah upaya setiap warga negara
untuk mempertahankan Republik
Indonesia terhadap ancaman baik dari luar maupun dalam negeri.
UU no 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara RI
mengatur tata cara penyelenggaraan pertahanan negara yang dilakukan oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun oleh seluruh komponen bangsa. Upaya
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam penyelenggaraan pertahanan negara itu
antara lain dilakukan melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Di dalam masa
transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi, tentu timbul pertanyaan
apakah Pendidikan Pendahuluan Bela Negara masih relevan dan masih dibutuhkan.
Makalah ini akan mencoba membahas tentang relevansi Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara di era reformasi dan dalam rangka menghadapi era globalisasi abad ke 21.
Hakekat Ancaman
Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ancaman Dari Luar
Dengan berakhirnya Perang Dingin pada awal tahun
1990an, maka ketegangan regional di dunia umumnya, dan di kawasan Asia Tenggara
khususnya dapat dikatakan berkurang. Meskipun masih terdapat potensi konflik
khususnya di wilayah Laut Cina Selatan, misalnya sengketa Kepulauan Spratly
yang melibatkan beberapa negara di kawasan ini, masalah Timor Timur yang
menyebabkan ketegangan antara Indonesia dan Australia, dan sengketa Pulau
Sipadan/Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, namun diperkirakan semua pihak
yang terkait tidak akan menyelesaikan masalah tersebut melalui kekerasan
bersenjata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam jangka waktu pendek
ancaman dalam bentuk agresi dari luar relatif kecil. Potensi ancaman dari luar
tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral dan budaya bangsa
melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan obat-obat terlarang,
film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing yang mempengaruhi
bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada gilirannya dapat merusak
budaya bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya adalah dalam bentuk
“penjarahan” sumber daya alam Indonesia melalui eksploitasi sumber daya alam
yang tidak terkontrol yang pada gilirannya dapat merusak lingkungan atau
pembagian hasil yang tidak seimbang baik yang dilakukan secara “legal” maupun
yang dilakukan melalui kolusi dengan pejabat pemerintah terkait sehingga
meyebabkan kerugian bagi negara.
Semua potensi ancaman tersebut dapat diatasi
dengan meningkatkan Ketahanan Nasional melalui berbagai cara, antara lain:
a. Pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat
menangkal pengaruh- pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma
kehidupan bangsa Indonesia
b. Upaya peningkatan perasaan cinta tanah air (patriotisme) melalui
pemahaman dan penghayatan (bukan sekedar penghafalan) sejarah perjuangan
bangsa.
c. Pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya alam
nasional serta terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(legitimate, bebas KKN, dan konsisten melaksanakan peraturan/undang-undang).
d. Kegiatan-kegiatan lain yang bersifat kecintaan terhadap tanah air
serta menanamkan semangat juang untuk membela negara, bangsa dan tanah air
serta mempertahankan Panca Sila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai
landasan berbangsa dan bernegara.
e. Untuk menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun
kemungkinannya relatif sangat kecil, selain menggunakan unsur kekuatan TNI,
tentu saja dapat menggunakan unsur Rakyat Terlatih (Ratih) sesuai dengan
doktrin Sistem Pertahanan Semesta.
Dengan doktrin Ketahanan Nasional itu, diharapkan bangsa Indonesia
mampu mengidentifikasi berbagai masalah nasional termasuk ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan terhadap keamanan negara guna menentukan langkah atau
tindakan untuk menghadapinya.
Ancaman Dari Dalam
Meskipun tokoh-tokoh LSM banyak yang menyatakan hal ini sebagai
sesuatu yang mengada-ada, pada kenyataannya potensi ancaman yang dihadapi
negara
Republik Indonesia tampaknya akan lebih banyak muncul dari dalam
negeri, antara lain dalam bentuk:
a. disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis
berdasarkan sentimen kesukuan atau pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah
terhadap kebijakan pemerintah pusat
b. keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan
pelanggaran Hak Azasi Manusia yang pada gilirannya dapat menyebabkan
huru-hara/kerusuhan massa
c. upaya penggantian ideologi Panca Sila dengan ideologi lain yang
ekstrim atau yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa
Indonesia
d. potensi konflik antar kelompok/golongan baik akibat perbedaan
pendapat dalam masalah politik, maupun akibat masalah SARA e. makar atau penggulingan
pemerintah yang sah dan konstitusional Di masa transisi ke arah demokratisasi
sesuai dengan tuntutan reformasi saat ini, potensi konflik antar
kelompok/golongan dalam masyarakat sangatlah besar. perbedaan pendapat yang
justru adalah esensi dari demokrasi malah merupakan potensi konflik yang serius
apabila salah satu pihak berkeras dalam mempertahankan pendiriannya sementara
pihak yang lain berkeras memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini, sebenarnya cara
yang terbaik untuk mengatasi perbedaan pendapat adalah musyawarah untuk
mufakat. Namun cara yang sesungguhnya merupakan ciri khas budaya bangsa
Indonesia itu tampaknya sudah dianggap kuno atau tidak sesuai lagi di era
reformasi ini.
Masalahnya, cara pengambilan suara terbanyakpun
(yang dianggap sebagai cara yang paling demokratis dalam menyelesaikan
perbedaan pendapat) seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak yang
“kalah”, sehingga mereka memilih cara pengerahan massa atau melakukan tindak
kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Tidak adanya kesadaran hukum di
sebagian kalangan masyarakat serta ketidak pastian hukum akibat campur tangan
pemerintah dalam sistem peradilan juga merupakan potensi ancaman bagi keamanan
dalam negeri. Apalagi di masa transisi saat ini ada kelompok/golongan yang secara
terbuka menyatakan tidak mengakui Peraturan/perundangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah transisi yang berkuasa saat ini. Pelecehan terhadap
hukum/undang-undang ini jelas menimbulkan kekacauan/anarki dan merupakan
potensi konflik yang serius.
Contoh yang paling nyata adalah insiden Semanggi
di mana para pengunjuk rasa yang jelas-jelas tidak mematuhi UU no 9/1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum akhirnya bentrok dengan
aparat keamanan yang justru ingin menegakkan hukum. Terlepas dari berbagai
faktor psikologis dan politis yang memicu terjadinya insiden tersebut,
kenyataannya adalah seandainya semua pihak menyadari pentingnya kepatuhan
terhadap hukum, tentunya insiden itu tidak akan terjadi. Keragu-raguan aparat
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan) dalam menangani
berbagai tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara juga
potensial untuk menyulut huru-hara akibat kekecewaan masyarakat. Tidak adanya
kesadaran hukum, di samping aspek sosial-psikologis yang perlu diteliti lebih
lanjut dan dicarikan penyelesaiannya, juga menyebabkan sering timbulnya tawuran
antar warga atau tawuran antar pelajar yang pada gilirannya menimbulkan
keresahan masyarakat dan menyebabkan instabilitas keamanan lingkungan.Maka, sosialisasi
berbagai peraturan dan perundang-undangan serta penegakan hukum yang tegas,
adil dan tanpa pandang bulu adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi potensi
konflik ini. Potensi ancaman dari dalam negeri ini perlu mendapat perhatian
yang serius mengingat instabilitas internal seringkali mengundang campur tangan
pihak asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk kepentingan
mereka.
Memudarnya
Nasionalisme dan Kecintaan Pada Bangsa dan Tanah Air
Sebagai produk dari faktor politik, ekonomi, sosial
dan intelektual pada suatu tahapan sejarah, nasionalisme adalah “suatu kondisi
pikiran, perasaan atau keyakinan sekelompok manusia pada suatu wilayah
geografis tertentu, yang berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki
kesusasteraan yang mencerminkan aspirasi bangsanya, terlekat pada adat dan
tradisi bersama, memuja pahlawan mereka sendiri dan dalam kasus-kasus tertentu
menganut agama yang sama”
Nasionalisme adalah produk langsung dari konsep
bangsa. Ia merujuk kepada perasaan “kasih sayang” pada satu sama lain yang
dimiliki oleh anggota bangsa itu dan rasa kebanggaan yang dimiliki oleh bangsa
itu sendiri. Dia adalah semangat kebersamaan yang bertujuan memelihara kesamaan
pandangan, kesamaan masyarakat dan kesamaan bangsa dalam suatu kelompok
orang-orang tertentu. Dia adalah suatu idelogi abstrak yang mengakui kebutuhan
akan suatu pengalaman bersama, kebudayaan bersama, dasar sejarah, bahasa
bersama dan lingkungan politik yang homogen. Nasionalisme dapat diungkapkan
dengan berbagai cara, misalnya keinginan untuk mencapai taraf kehidupan yang
tinggi, keinginan untuk memenangkan medali emas lebih banyak dari negara lain
dalam Olympiade, atau bahkan menundukkan wilayah lain yang berbatasan.
Akhir-akhir ini ditengarai bahwa semangat
nasionalisme dan patriotisme, khususnya di kalangan generasi muda Indonesia
telah memudar.
Beberapa indikasi antara lain adalah munculnya
semangat kedaerahan seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah;
ketidakpedulian terhadap bendera dan lagu kebangsaan; kurangnya apresiasi terhadap
kebudayaan dan kesenian daerah; konflik antar etnis yang mengakibatkan
pertumpahan darah.
Ketidakmampuan pemerintah pasca Orde Baru untuk
mengatasi krisis multidimensional sering dijadikan “kambing hitam” penyebab
memudarnya nasionalisme. Banyak orang yang tidak merasa bangga menjadi orang
Indonesia akibat citra buruk di dunia internasional sebagai “sarang koruptor”
dan “sarang teroris”. Banyak orang yang enggan membela negara dengan alasan
“saya dapat dari negara?” Presiden John F. Kennedy dari Amerika Serikat pernah
mengatakan, “don’t ask what your country can do for you, ask what can you do
for your country!” (jangan tanyakan apa yang dapat dilakukan oleh negaramu
untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu!) Semangat
seperti itu seharusnya juga berlaku bagi semua warga negara Indonesia. Ada
semacam kekeliruan pandangan bahwa negara identik dengan pemerintah. Setiap
warga negara boleh saja tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tapi dia
tetap berhak dan wajib membela negaranya.
Memudarnya nasionalisme dan patriotisme mungkin
juga disebabkan oleh tiadanya penghayatan atas arti perjuangan para pahlawan
kemerdekaan. Perayaan hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus selama
berpuluh tahun terkesan hanya sebagai ritual upacara bendera yang membosankan.
Tradisi “hura-hura” lomba makan krupuk dan panjat pinang, panggung hiburan yang
dari tahun ke tahun hanya diisi oleh vocal group remaja setempat di setiap RT
di seluruh tanah air dan gapura yang mencantumkan slogan-slogan kosong di setiap
ujung gang. Yang lebih memprihatinkan, di tengah krisis ekonomi yang
berlarut-larut ini, hari Kemerdekaan dirayakan dengan kembang api. Betapa tidak
nasionalis dan tidak patriotisnya, membakar uang puluhan juta rupiah sementara
sebagian besar rakyat tengah menderita. Sedikit sekali kelompok masyarakat yang
merayakan hari Kemerdekaan dengan acara syukuran dan do’a bersama mengingat
jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk mencapai
kemerdekaan ini.
Demikian pula Sumpah Pemuda, yang sebenarnya
adalah modal awal persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia jauh sebelum
kemerdekaan, kini seolah hanya merupakan pelajaran sejarah yang tidak pernah
dihayati dan diamalkan. Munculnya gerakan separatisme dan konflik antar etnis
membuktikan tidak adanya kesadaran bahwa kita adalah satu tanah air, satu
bangsa, dan satu bahasa. Harus diakui bahwa ada faktor-faktor politis, ekonomi
dan psikologis yang menyebabkan gerakan-gerakan separatis maupun konflik antar
etnis itu, misalnya masalah ketidak adilan sosial dan ekonomi, persaingan antar
kelompok dan sebagainya. Kurang tanggapnya pemerintah baik di pusat maupun
daerah untuk mengantisipasi atau segera menangani berbagai permasalahan itu
menyebabkan tereskalasinya suatu masalah kecil menjadi konflik yang
berkepanjangan.
Bela Negara Sebagai
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Konsep Bela Negara
Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa “tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”. Konsep
Bela Negara dapat diuraikan yaitu secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik
yaitu dengan cara “memanggul bedil” menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela
Negara secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan
Bela Negara secara non-fisik dapat didefinisikan sebagai “segala upaya untuk
mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan
kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air
serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara”.
Bela Negara Secara
Fisik
Keterlibatan warga negara sipil dalam upaya
pertahanan negara merupakan hak dan kewajiban konstitusional setiap warga
negara Republik Indonesia. Tapi, seperti diatur dalam UU no 3 tahun 2002 dan
sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta, maka pelaksanaannya dilakukan
oleh Rakyat Terlatih (Ratih) yang terdiri dari berbagai unsur misalnya Resimen
Mahasiswa, Perlawanan Rakyat, Pertahanan Sipil, Mitra Babinsa, OKP yang telah
mengikuti Pendidikan Dasar Militer dan lainnya. Rakyat Terlatih mempunyai empat
fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan Masyarakat, Keamanan Rakyat dan
Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut pertama umumnya dilakukan pada masa
damai atau pada saat terjadinya bencana alam atau darurat sipil, di mana
unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah daerah dalam menangani Keamanan
dan Ketertiban Masyarakat, sementara fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam
keadaan darurat perang di mana Rakyat Terlatih merupakan unsur bantuan tempur
bagi pasukan reguler TNI dan terlibat langsung di medan perang.
Apabila keadaan ekonomi nasional telah pulih dan
keuangan negara memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk
mengadakan Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang
dilakukan di banyak negara maju di Barat. Mereka yang telah mengikuti
pendidikan dasar militer akan dijadikan Cadangan Tentara Nasional Indonesia
selama waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya sebulan dalam setahun untuk
mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran. Dalam keadaan darurat perang,
mereka dapat dimobilisasi dalam waktu singkat untuk tugas-tugas tempur maupun
tugas-tugas teritorial. Rekrutmen dilakukan secara selektif, teratur dan
berkesinambungan. Penempatan tugas dapat disesuaikan dengan latar belakang
pendidikan atau profesi mereka dalam kehidupan sipil misalnya dokter
ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara di Dinas Hukum, akuntan di Bagian
Keuangan, penerbang di Skwadron Angkutan, dan sebagainya. Gagasan ini bukanlah
dimaksudkan sebagai upaya militerisasi masyarakat sipil, tapi memperkenalkan
“dwi-fungsi sipil”. Maksudnya sebagai upaya sosialisasi “konsep bela negara” di
mana tugas pertahanan keamanan negara bukanlah semata-mata tanggung jawab TNI,
tapi adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia.
Bela Negara Secara
Non-Fisik
Di masa transisi menuju masyarakat madani sesuai
tuntutan reformasi saat ini, justru kesadaran bela negara ini perlu ditanamkan
guna menangkal berbagai potensi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik
dari luar maupun dari dalam seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya, bela negara tidak selalu harus berarti “memanggul
bedil menghadapi musuh”. Keterlibatan warga negara sipil dalam bela negara
secara non-fisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa dan
dalam segala situasi, misalnya dengan cara:
a. meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, termasuk
menghayati arti demokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan tidak
memaksakan kehendak
b. menanamkan kecintaan terhadap tanah air, melalui pengabdian yang
tulus kepada masyarakat
c. berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya
nyata (bukan retorika)
d. meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang
dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia
e. pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat
menangkal pengaruh- pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma
kehidupan bangsa Indonesia dengan lebih bertaqwa kepada Allah swt melalui
ibadah sesuai agama/kepercayaan masing- masing
Apabila
seluruh komponen bangsa berpartisipasi aktif dalam melakukan bela negara secara
non-fisik ini, maka berbagai potensi konflik yang pada gilirannya merupakan
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bagi keamanan negara dan bangsa
kiranya akan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Kegiatan bela
negara secara non-fisik sebagai upaya peningkatan Ketahanan Nasional juga
sangat penting untuk menangkal pengaruh budaya asing di era globalisasi abad ke
21 di mana arus informasi (atau disinformasi) dan propaganda dari luar akan sulit
dibendung akibat semakin canggihnya teknologi komunikasi.
Sumber :
C.
http://busmaniar29.wordpress.com